Web Site Counters

Jumat, Juli 03, 2009

MEMPRAKTIKKAN ISLAM SIMPATIK

MUHAMMAD saw membawa risalah Islam dalam rentang sangat singkat (sekitar 23 tahun). Namun dalam tataran kemanusiaan dan kerasulan, sejarawan dunia mengakui keberhasilan beliau Ini karena kepribadian Rasul saw yang sempurna dan mengagumkan. Hanya sedikit disebabkan faktor lain seperti intervensi (pertolongan) Tuhan melalui berbagai faktor metafisik

Kepribadian agung Rasulullah saw, bahkan ketika menghadapi orang yang jelas-jelas memusuhinya, namun beliau sama sekali tidak menampilkan karakteristik padang pasir yang keras dan kasar. Inilah yang sangat kontras dengan yang dipraktikkan umat Islam saat ini, bahkan kita telah sangat keterlaluan. Padahal, kita sekarang ini hanya berhadapan antarsesama, bukan mengahadapi tantangan alam yang berat seperti dialami Nabi saw. Ternyata, perangai kita dalam memahami dan menjalankan dakwah Islam telah melampau batas-batas keteladanan beliau.

Bila mengamati perilaku sebagian umat (Islam) akhir-akhir ini, boleh disebut telah semakin jauh dari jalan nubuwwah yang pernah beliau saw contohkan. Sekarang ini keluhuran dan keagungan ajaran Islam tidak mampu diamalkan, malahan dibajak sekelompok orang yang mengklaim dirinya muslim. Inilah yang perlu kita menyadari agar keteladanan Rasul saw dapat dipraktikan umatnya. Bagaimana amalia seorang muslim benar-benar sesuai risalah agama (Islam). Bukan sebaliknya, perbuatan seorang muslim mengakibatkan kemudharatan bagi muslim lainnya.

Islam menganjurkan agar dalam melakukan sesuatu tidak serta-merta cukup dengan niat baik (ikhlas karena Allah). Perlu juga mempertimbangkan unsur lain yang patut, legal dan santun. Kualifikasi patut, legal dan santun, dimana Islam lebih mengedepankan etika (mau‘idhah hasanah) daripada aspek legal formalnya (legalitas) dalam suatu tindakan. Apalagi mengedepankan sikap emosional yang pada ujung-ujungnya menggiring pada kekerasan. Di samping tidak relevan dengan spirit Islam sebagai agama damai, santun, ramah dan bersahaja, juga bisa menjauhkan manusia dari kesejatian ajaran Islam yang agung.

Peristiwa Minggu (21/06/2009) lalu di Lhoeksemawe, ketika sejumlah santri Pesantren Darul Mujahidin melakukan razia busana muslimah di depan pesantren mereka, menurut saya suatu praktik yang tidak mencerminkan nilai damai, dan kedangkalan pemahaman nilai ajaran Islam. Ekses dari razia itu adalah kekerasan yang dilakukan oleh santri atas nama penegakan hukum Islam (syari‘at) terhadap sepasang pemuda yang dianggap melanggar syari‘at Islam, dengan indikasi berpakaian ketat dan berboncengan dengan non-muhrim. Prilaku yang ditampilkan cenderung ketidakdewasaan para santri dalam memahami ajaran Islam pada umumnya, juga tata cara berdakwah, menegakkan amal ma‘ruf nahi munkar khususnya. Emosi salah tempat dan kurang stabil sebagai aktualisasi gejolak darah muda yang belum matang lebih menonjol ketimbang panggilan untuk menegakkan syari‘at Islam.

Kita tidak boleh menyalahkan para santri Darul Mujahidin. Namun kejadian itu harus dijadikan ibrah (pelajaran) agar kasus semacam itu tidak terjadi. Juga tidak pada tempatnya membela sepasang pemuda non-muhrim yang menjadi korban pemukulan para santri dalam kejadian itu. Sebab, menurut penulis-berdasarkan informasi media-- memiliki kesalahan yang sama saat peristiwa tidak kita inginkan itu berlangsung.

Dalam kontek itu, pertama, semua elemen masyarakat Aceh, terutama kaum santri dan da‘i sebagai benteng dan pengawal syari‘at Islam di Aceh, supaya instrospeksi diri. Kedua, menyatukan diri dan kekuatan untuk mencari, menemukan dan membangun satu strategi simpatik yang ampuh. Bilapun syari‘at harus tegak di Aceh, tetapi perlu dipikirkan bagaimana “strategi gempur” yang lebih efektif namun menarik simpatisan masyarakat.

Tidak ada keharusan, ketika ingin menegakkan syari‘at Islam namun justru kita melanggar hukum, perundangan-undangan negara dan HAM. Karena itu, perlu menggunakan “senjata simpatik” dengan menembak hati nurani umat. Bukan justru sebaliknya, memancing emosi sasaran yang akan berakibat pada kefatalan. Dalam dunia kepolisian dikenal dengan istilah senyum, tegur, sapa dan ramah. Polisi sebagai penegak hukum negara menggunakan metode ini dalam tugasnya sehari-hari. Apa salahnya memakai trik kepolisian ini dalam dunia santri dan da‘i dalam tugasnya menegakkan syari‘at Islam.

Islam agama rahmatan lil alamin, maka jalan bijak dan moderat mesti ditempu, bukan jalan kekerasan. Sejatinya, umat diajak, diimbau, dinasihati dan diberi contoh yang baik, dengan menunjukkan sikap bersahabat dan membimbing mereka jika tidak tahu. Bukan melegalkan suatu pelanggaran dengan mengatasnamakan syariat Islam.

Untuk mendukung “budaya baru” di kalangan santri dan da`i, laskar gempur pengawal syari`at Islam di Aceh ini diperlukan penyesuaian kurikulum dan pendekatan pembelajaran di dayah tertentu di Aceh. Memang kelihatannya gagasan ini terkesan provokatif dan tidak mendasar, serta terlalu mengada-ada. Tetapi kenyataan di lapangan mengambarkan suatu keadaan dimana ketidakdewasaan menghadapi tantangan dakwah kerap mencoreng jati diri keulamaan santri dan lembaga dayah di Aceh. Sikap sabar, tenang, tidak mengedepankan emosional, simpatik dan menerapkan langkah-langkah penanganan masalah pelanggaran syari`at dengan hati lapang dan kepala dingin belum mampu kita wujudkan. Mungkin para santri kita belum terbiasa bekerja di bawah tekanan mental sedemikian rupa, yang membutuhkan kesabaran yang memadai manakala dihadapkan pada suatu “konflik syari`at” di masyarakat. Karena itu, diperlukan penekanan pada kajian akhlakul karimah.

Untuk mengimbangi padatnya pembelajaran materi fiqih dan bahasa Arab yang menjadi konsentrasi utama di sejumlah dayah di Aceh. Kajian etika Islam itu boleh saja difokuskan pada tela‘ahan metode dakwah Rasulullah SAW dan para sahabat beliau. Bagaimana Nabi dan sahabat berhasil menghadapi tantangan dakwah dengan pendekatan yang penuh daya tarik bagi sasaran dakwahnya.

Selama ini, kajian sirah Rasulullah saw khususnya dan kajian sejarah Islam pada umumnya, lebih dikonsentrasikan pada aspek politik kekuasaan. Bagaimana suksesi antar pemimpin Islam dilakukan, sejak dari zaman Nabi, sahabat, sampai dinasti-dinasti Islam berkuasa. Aspek nilai dan pesan-pesan moral tentang keluhuran dan keagungan pribadi-pribadi yang terlibat dalam sejarah itu sama sekali tidak diangkat ke permukaan. Konsekuensinya, kita mahir memahami sejarah, tetapi kering dari pesan-pesan yang mestinya diteladani yang membantu kita membangun motivasi dan spirit dalam menegakkan amal ma‘ruf nahi munkar sebagaimana generasi terdahulu pernah lakukan. Sejatinya, itulah substansi mempelajari perjalanan kehidupan sejumlah tokoh besar dalam sejarah Islam. Kita tidak menarik benang merah (pesan penting terdalam) dan kemudian mempertautkan dengan kondisi kekinian dengan medan dan tantangan yang berbeda. Semoga, kita mau selalu mengaca diri pada kepribadian Rasulullah saw.

[+/-] Baca Beu Abeehhh--->...